Rabu, 05 Januari 2011

Catatan Pribadi untuk Agama Andreas Harsono Adalah Jurnalisme


SAYA KIRA, hanya wartawan bodoh dengan sederet prestasi jurnalistik gemilang—pernah kerja di The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan Pantau (Jakarta), penerima Nieman Fellowship on Journalism Harvard University —seperti Andreas Harsono yang bisa bilang, “Agama saya adalah jurnalisme.” Pengakuan ini dalam artian sebenarnya, bukan sekedar kepentingan promosi buku atau pernyataan kelepasan tidak sengaja.

Kenapa ? Karena, “Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang diambil.” Ucap Bill Kovach, gurunya di Nieman Fellowship on Journalism Harvard University, yang kemudian hari dipakai oleh Harsono. “Kalau masih juga ditanya soal apa agama saya, saya akan jawab : agama saya adalah jurnalisme. Saya percaya bahwa jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat.” Jawab Harsono dalam interview bersama Novri, suatu sore, di Radio Utan Kayu.


Dalam 2 hari saya berhasil melahap buku ini, tebalnya 268 halaman dibagi empat bagian : (1) Laku wartawan, (2) Penulisan, (3) Dinamika Ruang Redaksi dan (4) Peliputan. Pembagian yang memang lazim dipakai dalam pendidikan jurnalisme.

Beberapa pengetahuan yang saya pegang selama ini, runtuh sudah dibuatnya buku ini. Dulu di SUKMA saya diajarin, bahwa wartawan harus independen, ditanyain itu apa, independen itu ya netral. Mas Andreas justru menulis, netral bukan prinsip jurnalisme! Independensi adalah semangat bersikap dan berpikir independen dari obyek liputan kita. Jika wartawan ingin beropinini, silahkan gunakan kolom opini. Walaupun, semangat akurasi data dan mengabdi kepada kepentingan masyarakat tetap mesti dijaga.

Tapi ada juga teori yang selama ini saya pegang, semakin dikuatkan bahkan menjadi keyakinan pasca membaca buku ini. Sejarah pers dunia mencatat,  justru media yang berani, memiliki idealisme dan concern terhadap mutu jurnalismelah yang mampu menjadi institusi media yang prestisius bahkan menguntungkan, disegani oleh media lain dan sukses meraih kepercayaan pembaca. Contoh yang ada dalam buku ini Atlanta Journal-Constitution, The New York Times dan The Washington.

Saya tercerahkan dengan penjelasan Mas Andreas soal “kebenaran” dalam diskursus jurnalisme. Jurnalisme bicara soal kebenaran fungsional (atau kebenaran prosedural, menurut Sirikit Syah), bukan kebenaran filosofis.

Saya juga makin paham, kenapa byline dan firewall itu penting. Byline adalah bentuk transparansi media terhadap pembaca, warning bagi wartawan yang nulis asal, tapi juga membantu wartawan dalam meniti kariernya. Firewall adalah penjaga kepercayaan pembaca, memastikan koran yang mereka beli bukan ”berita pesanan”, dan wartawan paham yang ia tulis adalah ”berita jurnalistik sungguhan” bukan ”iklan lewat”.

Mas Andreas juga memberi persfektip yang berbeda terhadap kasus Tempo Vs Tommy Winata, lebih menarik malah, ketimbang dari bacaan-bacaan yang selama ini saya dapatkan. Bahwa wartawan bukan hanya bicara soal misi yang baik, tapi juga soal prosedur yang baik.
Ulasan Mas Andreas terkait jurnalisme investigasi, sumber anonim, teknik wawancara, aspek penulisan, referensi kedua dan sejarah pers Indonesia juga sangat membantu.

Tapi juga ada yang menyentak kesadaran, ketika Mas Andreas berkisah dengan geram peliputan-peliputan di daerah konflik macam Acheh, Papua, dan Pontianak. Indopahit (mengikuti cara Mas Andreas menyebut Indonesia) ternyata menyimpan stock borok lebih banyak dari yang saya ketahui selama ini. Dan media turut berdosa karena menyembunyikan bahkan menyimpangkan fakta-fakta tersebut.

Ngeri juga rasanya, saat Mas Andreas mengupas seputar Media Palmerah. Ngeri karena, media-media besar di Jakarta yang memiliki oplah besar, nama besar, dan kepercayaan besar dari pembaca (termasuk saya) ternyata menyimpan dosa-dosa yang tidak sedikit dan kok, rasa-rasanya, sulit diampuni.

Sedang kritik saya untuk buku ini adalah, Mas Andreas masih melihat remeh terhadap media Islam dan wacana jurnalisme Islam, kurang tajam dan dalam ketika melihat kasus terorisme yang selalu dikaitkan dengan Islam di Indopahit. Atau tragedi kekerasan yang sering dialih-opinikan akibat faktor etnik-agama. Lupa menelisik lebih jauh, bahwa kezaliman pemerintah pusat dan eksploitasi korporasi asing di bumi mereka seringkali menjadi faktor utama yang disembunyikan. Harusnya, Mas Andreas konsisten dengan slogannya, ”Analisis, analisis, analisis!”

Sisanya, adalah renungan-renungan yang mengasyikkan bagi saya pribadi.
Ala kulli hal, ini buku bagus dengan konten yang ideal (dan saya dibuat sinis, bisa gak sih diterapkan di media Indopahit, hihihihi). Bravo Mas Andreas! :-)

NB : Terima kasih buat Mbak Rahma Mardina, Redpel Sukma ’07 yang sudah jungkir-balik nyarikan ini buku (Agama Saya Adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono, Kanisius, Yogyakarta : 2010) di Jogja di tengah tumpukan rak buku Nasrani yang katanya bikin ngeh, ucapan terima kasihnya yah ”resensi” ini saja. :-)

Masukkan E-Mail Kamu


Comments :

1

yah cukuplah XD

rahma_md mengatakan...
on 

Posting Komentar

Berikan Kritik dan Saran Kalian -
dengan Mengisi Kotak Komentar di Bawah ini !!