Rabu, 15 Desember 2010

Sebuah Usaha Memetakan Pers Indonesia

Dari Jihad Darah Hingga Jihad Perut
oleh Muhammad Syarafuddin
Sukma Online

TEMPOE DOELOE, pra revolusi kemerdekaan. Pers Indonesia memang tampil dengan sangat sederhana dan nyaris hanya mengutamakan keterampilan menulis saja.Pers saat itu sangat kental dengan suasana kebangsaan, kritik-kritik pedas pada penjajah kolonial dan murni bermodal idealisme perjuangan. Hal ini tampak dari pekik semboyan pers, “Indie los van Holland / Hindia lepas dari Belanda” atau “Indie vor de Indiers / Hindia untuk anak Hindia”.

Tanpa peduli ancaman kekerasan, ancaman persdelict, atau dibuang. Mereka terus berjuang membuat opini tandingan terhadap kekuasaan kolonial Hindia Belanda saat itu. Opini tandingan bahwa merdeka adalah harga mati.


Beranjak ke era pasca kemerdekaan, terutama di orde lama, Soekarno. Terjadi pertarungan yang kental aroma ideologi tentang Indonesia mau dibawa kemana. Masih hangat bagaimana Pramoedya Ananta Toer dengan lembar kebudayaan Lentera, di Koran Bintang Timur. Menyerang habis-habisan para—yang mereka sebut—kaum reaksioner, dekaden, dan kontra-revolusioner. Barisan sastrawan di Manifesto Kebudayaan, Buya Hamka, dan lainnya sempat merasakan semprit dari Mas Pram. Yang paling terkenal adalah antara Hikmah–Masyumi (Moh.Natsir) dan Harian Rakjat–PKI saling serang menyerang. Hingga Soekarno yang memang mendukung penuh ide sosialisme dan PKI, membubarkan Hikmah, Abadi, dan Indonesia Raya. Banyak pil pahit yang mesti ditelan oleh pihak oposisi Nasakom dan PKI saat itu.

Memasuki era orde baru. Giliran otoritarianime yang bermain. Dimana unsur sensor, eufimisme, komunikasi pembangunan-isme, politik SIUPP, dan jerat tangan kekerasan benar -benar mengimpotensikan pers Indonesia. Yang berani melawan, “Pateni We!” pekik Pak Harto.

Tercatatlah Pedoman (Rosihan Anwar), Tempo (Goenawan Mohammad), Harian Kami (Anwar Nono Karim), Sabili (Zaenal Muttaqien), dan banyak lainnya yang sempat merasakan pahitnya terdiam melihat anak asuhnya mati dibredel Pak Harto saat itu.

Juga tercatat bagaimana TVRI di era itu benar-benar menjadi corong pemerintahan dan pilihan satu-satunya bagi rakyat Indonesia dalam persoalan media televisi.

Selepas era reformasi dengan agenda demokratisasi (liberalisasi) segala bidang. Pers mendapat tugas sebagai pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Jika pers Indonesia di masa Orba bertugas dan setia menjadi watched dog (anjing yang diawasi), bahkan lap dog. Namanya lap dog, tentu diawasi, disemprit, dipangku-pangku, jika macam-macam bisa dipukul.

Tahun 1998 itulah rantai dilepas. Anjing ini ternyata menjadi sangat liar, menggigiti siapa saja yang dicurigai. Kebebasan menjadi kebablasan. Kasus Playboy Edisi Indonesia dan Koran Tempo dalam kasus Insiden Monas adalah contoh bagus untuk menggambarkan perilaku ‘anjing gila’ ini.

Jika itu persoalan bahwa pers sering kehilangan daya kritis dan kontrolnya. Di segi lain, kualitas kerja jurnalistik, Sirikit Syah, dari LKM Media Watch juga menambahkan bahwa ada fenomena, bahwa jika dulu pers Indonesia (1999) cenderung melakukan kesalahan dalam soal akurasi, seperti cover both side atau kurang balance. Sekarang (2009) permasalahan cenderung substansial. Seperti pers justru mempolarisasi konflik atau melakukan penyesatan, contoh tidak dihormatinya asas praduga tak bersalah.

Segi lain adalah, bahwa pers Indonesia sudah terjebak pada pragmatisme industri. Menurut Faris Khoirul Anam, media lebih menyajikan what they want ketimbang what they need. Media menjadi ‘budak’ bagi selera pasar dan pembaca, alih-alih menyajikan konten yang edukatif . Idealisme seperti barang mewah di tengah dunia pers kita hari ini.

Hal ini menjadi wajar dan berbanding lurus akan kenyataan politik-ekonomidi Indonesia. Ichsanuddin Noorsy, pemerhati ekonomi kerakyatan,menyatakan bahwa Indonesia sudah jatuh dalam pelukan kapitalisme neo liberal sedari dulu. Tentu dengan suka rela, bukan dipaksa.Terlihat dari bagaimana IMF, World Bank, AS, dan berbagai korporatokrasi bisa mencengkeram Indonesia begitu rupa. Apa yang kita lihat hari ini, seperti perampokan SDA oleh asing, kebijakan berorientasi pasar,mudahnya intervensi politik dan ekonomi AS masuk, dan lahirnya berbagai produk UU pro-neolib (UU PM, UU BHP). Adalah akar, dari semua krisis dan lingkaran setan yang melingkupi Indonesia.

Pemerintah lebih merasa berdosa melihat asing gusar ketimbang rakyatnya menangis.Pers sebagai satu sub-sistem dari sistem yang lebih besar tentu mendapat imbas tidak sedikit. Menurut Pak Amien Rais, dalam Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia (2008), media bisa mengambil 3 pilihan untuknya berperan. Pertama, menjadi watch dog. Pers yang selalu mengutamakan kebenaran dan kepentingan rakyat dan negaranya.

Kedua, menjadi guard dog. Penjaga kepentingan ekonomi, lembaga-lembaga politik dominan, dan tata sistem nilai yang pro status quo. Menjadi kritis bisa saja, tapi jangan tertipu. Sikap kritis tersebut justru adalah untuk menjaga sistem status quo dari penyelewengan.

Ketiga, menjadi lap dog. Anjing yang dielus dan dipelihara, asal diberi makan bakal diam. Mereka melayani kepentingan politik dan ekonomi dominan dan membiarkan rakyat tak berdaya dalam marginalisasi. Tidak akan mengganggu kepentingan korporasi. Parahnya lagi, tak punya nyali menyuarakan kebenaran dan idealisme. Mereka ‘berjihad’ dengan pena, demi ‘idealisme’ perut.

DAFTAR BACAAN :
Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, PPSK press,Yogyakarta : 2008.
Faris Khoirul Anam, Fikih Jurnalistik. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta : 2009.
Taufik Rahzen, Ed. Tanah Air Bahasa : Seratus Jejak Pers Indonesia . I : boekoe,Jakarta : 2008.
Ichsanudin Noorsy, “Semua Capres Neolib!”, SABILI, eds.No.24, TH.XVI,18/06/09.
Sirikit Syah, “Hilangnya Daya Kritis Pers”, SABILI.

Masukkan E-Mail Kamu


Comments :

0 komentar to “Sebuah Usaha Memetakan Pers Indonesia”


Posting Komentar

Berikan Kritik dan Saran Kalian -
dengan Mengisi Kotak Komentar di Bawah ini !!