Senin, 18 April 2011

Rosihan Anwar In Memoriam

oleh Muhammad Syarafuddin / Sukma Online


LAHIR DI KUBANG NAN DUA, Sumatera Barat, 10 Mei 1922. Rosihan Anwar menempuh pendidikan mulai dari HIS Padang (1935), Mulo Padang (1939), AMS-A II Yogyakarta (1942), Drama Workshop Universitas Yale, AS (1950), dan School of Journalism, Columbia University New York, AS (1954). Melihat rekam catatan pendidikannya, ya, benar sekali, Rosihan memang bercita-cita tinggi untuk menjadi seorang jurnalis.

Karier jurnalistiknya berawal di harian Merdeka (1945) milik B.M. Diah. Sebelumnya, bersama Joeoef Isak dan B.M. Diah, ia bergerak merebut percetakan Djawa Shimbun yang menerbitkan Asia Raja, yang kemudian menjadi modal untuk Merdeka. Rosihan, mendapat posisi redaktur utama.

Kelihaian menulis Rosihan sendiri tidak melulu berasal dari pendidikan formal. Ia mengaku  banyak berguru pada Buya Hamka. Ulama dan pujangga besar pendiri Pandji Masjarakat (1959).


Saat terjadi konflik dengan B.M. Diah di Merdeka, Rosihan bersama Soedjatmoko dan Sanjoto bergerak mendirikan harian Pedoman (1948). Rosihan didaulat sebagai pemimpin redaksi. Selain Pedoman, ia juga mendirikan majalah mingguan Siasat.

Pedoman, anak asuh kesayangan Rosihan, praktis mengalami dua kali pembunuhan. Tahun 1961 di era Orde Lama Soekarno dan tahun 1974 di era Orde Baru Soeharto. Problemnya sederhana, Rosihan memuat berita yang ”menyinggung” perasaan penguasa saat itu. Pembreidelan koran bukanlah hal yang aneh untuk Indonesia saat itu.

Bahkan, nama Rosihan sempat terlarang ditampilkan. Tapi Rosihan tidak ambil pusing, ia memilih freelance, terus menulis dengan berbekal nama samaran. Sebab, seperti yang pernah ia tulis—dengan rendah hati—dalam Menulis Dalam Lumpur, Sebuah Otobiografi, ”... pensiun berarti tidak ada uang masuk untuk sekedar menyambung kehidupan.”

Rosihan Anwar byline itu sendiri bukan hanya konsumsi pembaca Indonesia, tercatat ia pernah menjadi koresponden koran asing. Semisal Asia Week Hongkong, The Age Melbourne dan The Strait Times Singapura.  Ia sendiri telah berhasil menelurkan 30 judul buku lebih.

Tapi Rosihan bukan hanya tipikal wartawan yang sibuk menulis. Selain memimpin koran, ia juga sempat memimpin organisasi wartawan (PWI Pusat), hingga memimpin lokakarya pelatihan yang telah melahirkan ratusan wartawan tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Sukses Rosihan tidak hanya milik ia sendiri, adalah Zuraida Sanawi, seorang penyiar radio semasa perang kemerdekaan, yang setia menemani Rosihan. Pengantin revolusi ini (1947) saling bahu-membahu mengarungi ganasnya kehidupan pers Indonesia.

Jakoeb Otama, pemilik Kompas, pada satu waktu pernah memberi tamsil pada Rosihan —yang akrab disapa Haji Waang—sebagai Ayatollah Wartawan Indonesia. Agak berlebihan, tapi Rosihan sendiri memang sosok menggugat bagi wartawan yang hanya menjalankan tugas sebagai rutinitas, cepat puas diri dan asal jalan.

Belakangan Rosihan sering melancarkan kritik perihal media massa yang terlalu memperhatikan tuntutan pasar dan kapitalisme. Sesuatu yang ia namai ”jurnalisme pasar”.

Rosihan adalah saksi mata perjalanan pers Indonesia modern. Rosihan adalah teladan karena dedikasi dan idealismenya kepada jurnalisme sejak umur 21 tahun. Dan itu ia mulai dari hal ”kecil”, menerapkan disiplin diri untuk terus membaca dan menulis. Meskipun dimejanya cuma ada mesin ketik manual.

Rosihan Anwar meninggal dunia Kamis (14/4) pagi jam 08.15 WIB di Rumah Sakit Metropolitan Media Center (MMC) Jakarta dalam usia 89 tahun. Setelah belum lama ini menjalani operasi bedah (by pass) jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta (Antara news).

                                                                     ***

Rosihan pernah menerbitkan In Memoriam Mengenang Yang Wafat, buku setebal 432 halaman yang memuat artikel In Memoriam dari 77 tokoh yang dekat dengan Rosihan dan sejarah Indonesia. Jika note ini juga semacam In Memoriam bagi Pak Rosihan, semata-mata, ini bentuk kebetulan yang disengaja. []


-----------------------------------------------------------------------------------
NB: Silahkan merujuk pada Taufik Rahzen (Ed.), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, 2007 dan Rosihan Anwar, Semua Berawal Dari Keteladanan, 2007 dan artikel Petuah Pak Ros untuk Jurnalis Muda di Antara News.

Masukkan E-Mail Kamu


Comments :

0 komentar to “Rosihan Anwar In Memoriam”


Posting Komentar

Berikan Kritik dan Saran Kalian -
dengan Mengisi Kotak Komentar di Bawah ini !!