Jumat, 28 Oktober 2011

Mahasiswa IAIN Kritisi Lepasnya Pulau Larilarian dari Wilayah Kal-Sel


      
Gambar : Pulau Larilarian, Kota Baru, Kal-Sel
Lepasnya Pulau Larilarian dari wilayah administrasi Kotabaru, Kalsel, berdasarkan Permendagri No 43 Tahun 2011 yang disahkan tanggal 7 Oktober yang lalu di Jakarta tentu saja memunculkan gejolak dan mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan tersebut mengatakan pulau Lari-Larian resmi menjadi milik Sulbar dengan nama pulau Lereklerekan. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.
Ada hal yang menggelitik dari peristiwa ini, mengapa kita kalah begitu telak, padahal  dasar-dasar hukum, peta dan bukti-bukti lain yang disiapkan oleh kedua pihak relatif berimbang. Hal ini bisa saja karena lemahnya kita dalam berdiplomasi dan lemahnya dukungan kekuatan nasional yang kredibel. Sedangkan, pendekatan kesejahteraan masyarakat, adalah dengan menghadirkan/memberdayakan komponen daerah lainnya untuk membangun wilayah perbatasan, terutama infrastruktur pendidikan, kesehatan dan prasana lainnya. Namun, jika kita bercermin pada sejarah pengalaman masa lalu membuktikan bahwa keberhasilan Irian Barat kembali ke pangkuan ibu pertiwi, karena keberhasilan diplomasi pemerintahan presiden Soekarno yang didukung oleh kekuatan nasional yang tangguh.
Tidak patut lagi kekalahan ini harus diratapi, yang terpenting bagaimana kita mengambil pelajaran untuk ke depan jangan sampai kecolongan lagi untuk kedua kalinya dan untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka pemerintah perlu serius dalam melakukan pendekatan, baik yang bersifat militer maupun non militer guna mempertahankan integritas wilayah Kalimantan Selatan. Pendekatan militer dilakukan melalui peningkatkan kemampuan personel aparat keamanan yang bertugas di wilayah perbatasan dengan membentuk satuan baru/penambahan pos-pos keamanan serta penambahan dukungan alutsista bagi kelancaran tugasnya serta intensifikasi pelaksanaan patroli pengamanan. Sedangkan pendekatan non-militer dilakukan melalui diplomasi dan pembangunan kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Pendekatan jalur diplomasi sebagai instrumen politik luar daerah dilakukan dalam rangka memperjuangkan kepentingan wilayah guna menyelesaikan masalah sengketa perbatasan secara tuntas. Dalam bidang diplomasi ini tentunya harus didukung oleh kekuatan yang tangguh baik bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer.
Selain itu, upaya diplomasi juga perlu dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, dengan menghadirkan/memberdayakan komponen bangsa lainnya untuk membangun wilayah perbatasan, terutama infrastruktur pendidikan, kesehatan dan prasarana lainnya. Sebagai warga masyarakat, kita hanya bisa berharap kepada pemerintah dan semua pihak untuk terus mengupayakan proses penyelesaian masalah batas wilayah melalui diplomasi, dengan dukungan bargaining position yang kuat, terutama bidang militer/pertahanan serta pengelolaan dan pembangunan wilayah perbatasan secara maksimal, sehingga konflik perbatasan dapat dihindari.
(Sumber : Sri Maulida Khairiyah & Khusnul Khatimah/Tim 3 Magang LPM SUKMA)

Masukkan E-Mail Kamu


Comments :

0 komentar to “Mahasiswa IAIN Kritisi Lepasnya Pulau Larilarian dari Wilayah Kal-Sel”


Posting Komentar

Berikan Kritik dan Saran Kalian -
dengan Mengisi Kotak Komentar di Bawah ini !!